Kamis, 30 Desember 2010

Ketika Allah Berkata tidak.......

Ketika manusia berdoa, "Ya Allah ambillah kesombonganku dariku." Allah berkata, "Tidak. Bukan Aku yang mengambil, tapi kau yang harus menyerahkannya."

Ketika manusia berdoa, "Ya Allah sempurnakanlah kekurangan anakku yang cacat." Allah berkata, "Tidak. Jiwanya telah sempurna, tubuhnya hanyalah sementara."

Ketika manusia berdoa, "Ya Allah beri aku kesabaran." Allah berkata, "Tidak. Kesabaran didapat dari ketabahan dalam menghadapi cobaan, tidak diberikan, kau harus meraihnya sendiri."

Ketika manusia berdoa, "Ya Allah beri aku kebahagiaan. "Allah berkata, "Tidak. Kuberi keberkahan kebahagiaan tergantung kepadamu sendiri untuk menghargai keberkahan-Ku itu."

Ketika manusia berdoa, "Ya Allah jauhkan aku dari kesusahan." Allah berkata, "Tidak. Penderitaan menjauhkanmu dari jerat duniawi dan mendekatkanmu pada-Ku."

Ketika manusia berdoa, "Ya Allah beri aku segala hal yang menjadikan hidup ini nikmat." Allah
berkata, "Tidak. Aku beri kau kehidupan supaya kau menikmati segala hari."

Ketika manusia berdoa, "Ya Allah bantu aku MENCINTAI orang lain, sebesar cinta-Mu padaku."

Allah berkata... "Akhirnya kau mengerti.!!"

Kadang kala kita berpikir bahwa Allah tidak adil, kita telah susah payah memanjatkan doa, meminta dan berusaha, pagi-siang malam, tapi tak ada hasilnya.

Kita mengharapkan diberi pekerjaan, puluhan bahkan ratusan lamaran telah kita kirimkan tak ada jawaban sama sekali, sementara orang lain dengan mudahnya mendapatkan pekerjaan. Kita sudah
mengharapkan jabatan, tapi justru orang lain yang mendapatkannya tanpa susah payah.

Kita mengharapkan diberi pasangan hidup yang baik dan sesuai, berakhir dengan penolakan dan
kegagalan, orang lain dengan mudah berganti pasangan.

Kita menginginkan harta yang berkecukupan, namun kebutuhanlah yang terus meningkat. Coba
kita bayangkan diri kita seperti anak kecil yang sedang demam dan pilek lalu kita melihat tukang
es. Kita yang sedang panas badannya merasa haus dan merasa dengan minum es dapatmengobati rasa demam (maklum anak kecil). Lalu kita meminta pada orang tua kita (seperti kita berdoa memohon pada Allah) dan merengek agar dibelikan es. Orangtua kita tentu lebih tahu kalau es dapat memperparah penyakit kita. Tentu dengan segala dalih kita tidak dibelikan es.

Orangtua kita tentu ingin kita sembuh dulu baru boleh minum es yang lezat itu. Begitu pula
dengan Allah, segala yang kita minta Allah tahu apa yang paling baik bagi kita. Mungkin tidak
sekarang, atau tidak di dunia ini Allah mengabulkannya.
Karena Allah tahu yang terbaik yang kita tidak tahu. Kita sembuhkan dulu diri kita sendiri dari"pilek" dan "demam"... dan terus berusaha serta berdoa.



REMAH-REMAH ROTI TIGA PULUH ORANG


Suatu senja Hasan Al-Anthaki kedatangan orang sebanyak tiga puluh orang.  Mereka berbagi rasa, berbagi ilmu dan berbagi pengalaman. Usai menunaikan shalat fardhu berjamaah tibalah saat makan malam. Hasan Al-Anthaki tidak memiliki sesuatu untuk menjamu mereka. Mereka pun telah kehabisan bekal. Yang tersisa hanyalah beberapa keeping roti kering yang tak bisa mengenyangkan perut sebagian mereka. Maka mereka sepakat untuk meremukkan roti kering itu, supaya mudah diambil. Setelah meremukkan roti tersebut, mereka pun memadamkan lampu, dan duduk bersama mengelilingi nampan berisi remah-remah roti itu untuk menyantapnya. Masing-masing orang yang hadir disitu mendengar suara kunyahan saudaranya.

Tidak ada yang tidak mengunyah. Beberapa saat kemudian, nampan tempat remah-remahroti itu diberesi. Pelayan Hasan Al-Anthaki heran, remah-remah roti tersebut masih utuh, tidak berkurang sedikit pun. Rupanya, mereka bertigapuluh adalah orang-orang yang mengerti benar etika menjalin persaudaraan diatas ikatan iman. Mereka rela berpura-pura makan asalkan saudaranya bisa makan dengan kenyang. Mereka tidak memperdulikan diri mereka sendiri yang kelaparan asalkan saudara mereka tidak. Merekalah sebaik-baik teladan.

Tidak Wajib Miskin

Para penyebar agama sering mengatakan bahwa hidup manusia wajib memakai dan mengikuti tolok ukur kehidupan yang sesuai dengan ukuran penilaian Tuhan. Misalnya, ketika ada peluang melakukan korupsi, meski hal itu bisa membuat seseorang tadi menjadi kaya-raya --dan hal itu kondusif untuk memenuhi tolok ukur manusia mengenai kesejahteraan dan sukses hidup-- namun jalan yang ditempuh tadi jelas bertentangan dengan pandangan Allah.
Oleh karena itu, kita dianjurkan mendingan miskin tanpa melakukan korupsi daripada 'harus' kaya tapi tidak sesuai dengan pandangan Allah. Meski sedikit rezeki yang kita peroleh, tetapi jika ditempuh dengan jalan yang benar, insya Allah akan menjadi rezeki yang barokah.
Terkadang, karena kondisi zaman kita sekarang 'cari uang haram saja susah, apalagi uang halal', maka sejumlah kalangan manusia mencari perlindungan psikologis dan metoda survivalisme dengan cara 'membanggakan kemiskinan', bahkan mengideologikan kemiskinan. Seolah-olah hidup itu harus miskin. Miskin identik dengan kebaikan, sedangkan kekayaan dianggap identik dengan keburukan atau kecurangan.
Ketika kemudian sufisme atau tasawuf dipelajari, asosiasi baku mengenai sufi adalah seseorang dengan simbol-simbol kemiskinan. Kalau Anda memiliki dan memakai sesuatu yang melambangkan kekayaan dunia, orang menyimpulkan Anda pecinta dunia dan jauh dari Allah.
Tentu saja ini tidak rasional. Kalau Anda berpendapat demikian, maka Anda bisa dituduh melarang orang untuk menikmati anugerah kekayaan Tuhan. Itu berarti antisyukur. Pada pandangan Allah, yang menjadi masalah bukan Anda ini kaya atau miskin, bukan berapa jumlah uangmu. Yang dipersoalkan ada dua: pertama, apakah engkau memperolehnya dengan halal. Halal itu sehat secara sosial; kedua, apa yang engkau lakukan dengan kekayaan atau kemiskinanmu. Tuhan mencemburuimu kalau engkau menuhankan kekayaan. Ia juga jengkel dan 'pusing' kalau menyaksikan engkau menyembah kemiskinan. Islam tidak antimateri. Poinnya tidak terletak pada benda, melainkan pada ilmu dan sikap manusia dalam memperlakukan benda.
Engkau tidak wajib miskin, meskipun berhak memilih miskin, sepanjang kemiskinanmu itu merupakan fasilitas yang memang tepat bagimu untuk mengkondisikan kedekatan dengan Allah. Engkau juga tidak dilarang kaya, sepanjang kekayaanmu membuatmu setia dan cinta kepada-Nya. Tuhan memposisikan dirinya pada manusia yang lemah, miskin, dan serba berkekurangan. Maka, cinta dan kesetiaan pada Tuhan adalah kasih sayang kepada orang-orang lemah. Sedemikian rupa, sehingga di senja hidupmu kelak, kekayaan termewah yang engkau miliki bukanlah tumpukan benda-benda, melainkan track record kadar dan bukti kasih sayangmu kepada kaum papa --yang membuatmu tidak memiliki materi apa pun lagi di akhir hayatmu. 'Menjadi bayi telanjang' kembali pada detik-detik menjelang maut, itulah sukses hidup yang sempurna.