Rabu, 22 Desember 2010

BAGAIMANA MEMPERBAIKI STABILITAS IBADAH

    Salah satu kecenderungan manusia yang tertanam dalam jiwanya dan ia bawa sejak dari lahir – yang biasa disebut dengan fitrah – adalah kesenangan melakukan ritual ibadah, maka di hampir seluruh pelosok bumi ini – yang di atasnya ada kelompok manusia yang hidup dan menghuninya – ada tempat ibadah, sekalipun itu di negeri yang sangat terpencil. Dan yang dimaksud dengan ibadah adalah ketundukan, kepatuhan dan penghambaan diri kepada Allah atau kepada yang lainnya dengan cara melakukan atau meninggalkan sesuatu karena diperintah atau dilarang oleh yang disembah atau atas inisiatif sendiri, sehingga orang yang melakukan ibadah disebut dengan ‘abidun atau abdun yang berarti hamba.
            Ibadah dalam Islam harus memenuhi dua hal, pertama, komitmen dengan apa yang telah diperintahkan, dilarang dan disyariatkan Allah dan Rasul-Nya; kedua, komitmen tersebut harus dari hati yang cinta kepada Allah. Dengan demikian, ibadah yang tidak bersumber dari Qur’an dan sunnah tidak sah, dan tidak sah pula ibadah yang dilakukan bukan karena keikhlasan dan kerelaan kepada Allah semata. Keikhlasan dan kerelaan tumbuh karena cinta, sedang cinta tumbuh karena pengetahuan yang sempurna tentang kebaikan-kebaikan Allah kepada manusia. Kebaikan Allah kepada manusia tidak bisa dihitung jumlahnya, semakin manusia mengetahui Allah dan berbagai macam kebaikannya maka semakin baik pula kadar cintanya kepada Allah, semakin baik kadar cintanya kepada Allah maka semakin baik puala kualitas dan tabilitas ibadahnya kepa Allah.
            Ada dua golongan manusia yang salah dalam memahami hakikat ibadah, pertama, orang-orang yang berlebih-lebihan dalam mengekspresikan kecintaannya kepada Allah, sehingga melakukan atau mengatakan sesuatu yang tidak ada dasarnya dalam Qur’an dan sunnah, yang pada gilirannya lahirlah bid’ah-bid’ah dalam agama ini, seperti banyak dilakukan oleh para ahli tasawwuf, dan bahkan ada yang menganggap dirinya bersatu dengan Allah, seperti Alhallaj atau Syekh Siti Jenar; kedua, orang-orang yang menyangka bahwa cinta bertentangan dengan adab ibadah, dan cinta tidak mengiringi ketakutan kepada Allah, dimana takut kepada Allah adalah bagian dari karakteristik seorang hamba Allah, padahal antara takut dan cinta bukan dua hal yang bertentangan, bahkan takut harus ada dalam cinta. “Yaitu orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat” (Qs.Al Ahqaf:33). Orang-orang seperti inilah yang biasa beibadah, tapi ibadahnya kering, tidak menghasilkan ketaatan di luar ritual ibadah, dimana ia beribadah tapi juga bermaksiat, sehingga mereka dapat digolongkan dalam klompok STMJ (shalat terus maksiat jalan) dan bahkan ada yang tidak melakukan ibadah ritual sama sekali, karena ibadah bagi mereka cukup dengan eling saja, dan sudah menganggap dirinya telah beribadah sampai datang kepadanya kematian.
            Inti ibadah dalam Islam ada empat; shalat, zakat, puasa dan haji. Masing-masing ibadah memiliki syarat, tata cara dan rukun-rukunnya yang telah disyariatkan Allah dan dicontohkan Rasulullah saw pelaksanaannya, serta masing-masing memiliki rahasia serta sasaran yang ingin dicapai dalam pelaksanaannya, ada yang diberitahu oleh Allah secara langsung dan ada pula yang kita ketahui secara berangsur dalam perjalanan kehidupan manusia. Masing-masing ibadah itu ada yang wajib dan ada pula yang sangat dianjurkan dan anjuran biasa. Dalam melaksanakan ibadah harus bertahap dari yang wajib, kemudian yang sangat dianjurkan, lalu anjuran biasa, jangan di balik! Apa bila telah mulai melaksanakan ibadah yang sangat dianjurkan atau anjuran biasa, jangan langsung banyak jumlahnya, tapi kerjakanlah sesuai kemampuan, meskipun sedikit, yang penting berkesinambungan.
Untuk menjaga stabilitas dan meningkatkan mutu ibadah kita, perlu mengetahui beberapa hal yang dapat memotivasi dalam beribadah;
Pertama, bangunlah kesadaran yang penuh bahwa kita adalah ciptaan Allah SWT, yang setelah Allah ciptakan, Allah memberi rezeki, memelihara, menjamin kehidupan kita dst, maka pantaslah apabila kita mencintai-Nya, yang kemudian berdasrkan kecintaan itu, kita beribadah kepada-Nya.
            Kedua, bangunlah kesadaran bahwa kita adalah makhluk yang sangat lemah di hadapan Allah, sangat memerlukan support kekuatan yang sumbernya hanyalah Allah SWT pemilik kekuatan maha dahsyat, kita sangat mengharapkan kekuatan itu untuk menjadi rahmat, sebaliknya kita takut kepada Allah agar tidak merubah kekuatan itu menjadi musibah atau laknat. Ketakutan dan harapan ini tidak akan terwujud melainkan melalui ibadah.
            Ketiga, ketahuilah bahwa ada pihak ketiga yang Allah jadikannya sebagai khalifah di muka bumi ini dan memberinya hak serta wewenang untuk menggunakan kekuasaanya dalam rangka menjaga agama-Nya, misalnya penguasa terhadap rakyatnya, orang tua terhadap anaknya, suami terhadap istrinya dan majikan terhadap hambanya atau anak buahnya, lakukanlah ibadah sebelum dipaksa oleh mereka, karena ibadah yang paling tidak baik adalah ibadah yang dilakukan di bawah tekanan atau ancaman.
            Keempat, ketahuilah bahwa ibadah yang kita lakukan, memiliki lima tingkatan hukum yang berhubungan dengan perolehan pahala dan dosa: (a) wajib, yaitu apabila dilaksanakan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan berdosa; (b) sunnah, yaitu jika dilaksanakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak apa-apa; (c) mubah, yaitu mengerjakan dan meninggalkannya tidak memperoleh pahala dan dosa; (d) makruh, yaitu mengerjakannya tidak apa-apa dan apabila ditinggalkan mendapatkan pahala; dan (e) haram, yaitu mengerjakannya mendapat dosa dan meninggalkannya mendapat pahala.
            Kelima, pamahamilah bahwa Allah menyediakan reward dalam menjalankan ibadah dengan benar, stabil dan berkualitas yaitu surga, dan punishment bagi yang tidak menjalankan ibadah yaitu neraka, untuk selanjutnya mengenal dengan baik kenikmatan-kenikmatan surga serta bahaya dan panasnya api neraka, sehingga kita memperoleh dorongan untuk komitmen melakukan ibadah, karena mengharap surga Allah dan takut akan neraka-Nya.
            Kelima motivator harus dibangun dalam diri kita secara simultan atau terintegrasi antara satu dengan yang lainnya agar kemudian kita senantiasa menjaga stabilitas dan kualitas ibadah kita. Terjadinya ketidak stabilan ibadah pada diri seseorang, biasanya disebabkan oleh tidak terintegrasinya motivasi-motivasi menjadi satu kesatuan dalam menjalankan ibadah. Diantara kita ada yang membangun motivasi ibadahnya hanya dengan cinta, sehingga ia berlebih-lebihan dalam ibadah, ada yang menbangun motivasinya dengan hanya memandang dirinya sebagai makhluk lemah, sehingga ketika setan memperlihatkan kepadanya kekuatan-kekuatan palsu yang instan, yang pada akhirnya ia mempersekutukan Allah dengan pemilik kekuatan palsu itu.
            Ada juga yang menggantungkan ibadahnya pada pihak ketiga, apabila pihak ketiga menyaksikannya ia beribadah dan membuat ibadahnya sangat berkualitas, tapi apabila pihak ketiga tidak ada atau tidak mengetahuinya maka ia tidak beribadah, orang seperti ini cenderung menjadi munafik, atau kekanak-kakanakan, karena yang biasa melakukan ibadah karena orang lain hanyalah anak-anak, kalau bukan anak-anak adalah orang munafik, oleh karena itu Rasulullah saw memerintahkan kita untuk menyuruh anak-anak kita shalat pada umur tujuh tahun, dan memukulnya pada umur sepuluh tahun apabila ia belum shalat. Rasulullah saw juga sering menunda waktu shalat isya berjamaah ke agak tengah malam untuk membedakan orang-orang beriman dan orang-orang munafik.
            Jika kita membangun motivasi kita hanya dengan pemahaman tentang wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram, maka kita akan melakukan hitung-hitungan pahala dan dosa dalam ibadah, sehingga ada di antara kita ketika dia pulang dari ibadah haji, tidak mau melaksanakan shalat lagi, karena – dalam pikirannya – ia telah memiliki sejuta, dua juta pahala yang cukup menjadi cadangan pahalanya hingga Allah menjemput nyawanya.
            Demikian pula kalau kita hanya membangunnya dengan motivasi surga dan neraka, maka kita akan memilah-mailah agama ini secara parsial, misalnya seorang menghapal sebuah hadits, bahwa, barang siapa yang membangun masjid Allah akan membangunkannnya istana di surga, karena ia tidak mengetahui hadits lainnya, maka ia hanya termotivasi membangun masjid sementara kehidupan kesehariannya penuh dangan maksiat yang dapat menghapus pahalanya dalam membangun masjid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar